MASALAH mendasar yang dihadapi di daerah adalah keterbatasan
infrastruktur, terutama akses internet yang memadai. Ada akses Telkomnet
Instan di sekitar 240 kota namun tentu saja ini tidak layak untuk akses
massal. Produk ini diposisikan bagi akses personal sehingga
kapasitasnya sangat terbatas.Sedangkan yang dibutuhkan warnet, pemda,
dan lembaga pendidikan biasanya adalah akses massal yang memerlukan
kapasitas besar.
Kalaupun ada koneksi 24 jam dedicated di daerah, umumnya juga
terbatas kapasitasnya. Sehingga sering kali tidak mencukupi kebutuhan
serta mahal.Kendala penetrasi internet daerah adalah infrastruktur.
Telkomnet ada di semua kota namun tidak memadai untuk akses massal.
Sifat layanannya on demand, non-dedicated, kapasitas terbatas, serta
time based cost yang menyebabkan akses internet kurang
ekonomis.Fasilitas penting seperti IP Address publik untuk layanan
in-house server tidak tersedia. Warnet, pemda, dan pendidikan memerlukan
akses dedicated dengan fitur lengkap.
Di luar Pulau Jawa, akses seperti ini menjadi mahal dan reliabilitasnya rendah.Solusi yang TersediaKoneksi
dedicated dari ISP lokal yang terbatas kapasitasnya (melalui Leased
Channel, Frame Relay, maupun Wireless LAN), dapat dikombinasi dengan
akses internet satu arah via satelit menggunakan teknologi DVB (Digital
Video Broadcasting). Solusi ini mereduksi biaya akses internet di daerah
dan meningkatkan kapasitas.Solusi ini membutuhkan peralatan sepasang
modem baseband (bekas) seharga Rp 6 juta, Router Cisco 2500 series
(bekas) seharga Rp 4 juta, registrasi dan instalasi seharga Rp 2 juta.
Biaya investasi mencapai Rp 12 juta. Pilihan lain adalah Wireless LAN
point-to-point seharga 900 dollar AS, tower triangle setinggi 32 meter
seharga Rp 10 juta.
Total investasi mencapai sekitar Rp 18 juta.Kombinasi ini
menghasilkan efisiensi akses karena jalur internasional dan IIX
(Indonesia Internet Exchange) dipisah. Bila hanya menggunakan sambungan
ke ISP (Internet Service Provider) lokal, saluran itu digunakan untuk
upstream/downstream IIX serta upstream/downstream internasional.
Dengan kombinasi downstream DVB, maka efisiensi sambungan ke IIX
meningkat dengan alur upstream/downstream IIX, upstream ke
internasional, dan downstream internasional sepenuhnya dari
DVB.Karakteristik utilisasi internet Indonesia untuk download dari
internasional menunjukkan kalau kebutuhan kapasitas internasional selalu
4 kali lebih banyak dari IIX. Misalnya, downstream internasional DVB
512 kbps, membutuhkan upstream 128 kbps dari ISP lokal sekaligus IIX.
Maksimalisasi IIX/lokal, misalnya untuk online games, sementara
internasional tidak terganggu.
Sedangkan biaya investasi perangkat DVB One Way terdiri dari antena
parabola mesh (Rp 2,5 juta), Low Noise Blocker (LNB) seharga Rp 250.000,
komputer refurbish (Router DVB) seharga 2 juta, DVB Card PCI seharga
250 dollar AS. Dengan kapasitas 3 Mbps total investasi yang dibutuhkan
bisa mencapai Rp 7 juta.Solusi DaerahApabila tidak
tersedia akses upstream dedicated dari ISP lokal, maka solusi
satu-satunya adalah akses VSAT Two Way. Tentu saja biaya investasi cukup
mahal. Solusi paling ekonomis adalah DVB RCS Linkstar. Investasi
peralatan VSAT paling rendah mencapai 7.000 dollar AS. Biaya bulanannya
128 kbps upstream dan 512 kbps downstream adalah 1.920 dollar AS.
Namun perlu dicatat, akses DVB RCS ini adalah burstable atau sharing
kapasitas dengan pengguna DVB RCS lainnya. Sehingga idealnya perhitungan
kapasitas yang bisa diandalkan adalah sekitar 1/2 dari 128/512 kbps
tersebut pada saat peak (puncak). Meskipun demikian, Linkstar DVB RCS
tetap merupakan pilihan paling rasional untuk daerah yang tidak tersedia
infrastruktur akses upstream dedicated sama sekali.Pilihan lainnya
menggunakan teknologi SCPC (Single Carrier Per Channel) DVB
upstream/downstream. Harga perangkat lebih mahal (mencapai 20.000 dollar
AS) dibanding DVB RCS. Belum lagi biaya bulanannya. Namun, kualitas
koneksinya terbaik karena memang ditujukan untuk penggunaan lingkungan
perusahaan.Ada juga SCPC Two Way. Ciri dari penggunaan teknologi ini
adalah SCPC upstream/downstream, kanal transponder satelit dedicated,
tidak sharing dengan pengguna lain. Remote dan hub dihubungkan modem
point-to-point. Perangkatnya mahal (mencapai 30.000 dollar AS) dan biaya
bulanan premium. Kualitasnya terbaik, mampu menangani kapasitas
asimetrik.
Asumsi Biaya
Keputusan Menteri Perhubungan No 5 Tahun 2005 membebaskan penggunaan
frekuensi 2,4 GHz untuk digunakan sebagai infrastruktur internet last
mile untuk kepentingan umum. Cakupan teknologi 2,4 GHz ini mencapai
radius 4-6 km untuk satu BTS (Base Transmission System). Kebutuhan
teknologi ini antara lain, satu Access Point seharga 750 dollar AS yang
bisa melayani 16-32 buat outstation, satu Omnidirectional Antenna 15 dbi
seharga 350 dollar AS, sebuah tower triangle 32 meter seharga Rp 10
juta. Total investasi bisa mencapai Rp 20 juta untuk penggunaan
teknologi ini.
Sedangkan untuk CPE (Client Premise Equipment) setiap titik
outstation harganya bisa mencapai 500 dollar AS.Sedangkan untuk
keperluan investasi kantor dan Network Operation Center (NOC),
rinciannya adalah sebagai berikut, PC Server seharga Rp 20 juta, KVM
Switch, UPS Server/WLAN seharg Rp 5 juta, Manageable Switch 16/24 port
seharg Rp 5 juta, Office Switch dan Workshop Switch seharga Rp 4 juta,
stabilizer, grounding, dan surge protector (mencapai Rp 5 juta), Office
Desktop dan Workshop seharga Rp 21 juta, Network, WLAN dan Working Tool
Kit seharga Rp 5 juta, dua buah AC dan furnitur seharga Rp 10 juta.
Total investasi Rp 75 juta.
Biaya produksi dan harga jual layanan kalau diasumsikan kapasitas 128
kbps upstream ke ISP lokal, sekitar Rp 12 juta per bulan. Asumsi
kapasitas downstream DVB 512 kbps, sekitar 1.270 dollar AS (Rp 12 juta)
per bulan. Biaya registrasi dan deposit untuk 512 kbps downstream,
sekitar 900 dollar AS (satu kali). Total biaya akses sekitar Rp 24 juta
per bulan.Untuk biaya operasional dirinci sebagai Manajer (sekitar Rp 2
juta per bulan), Administrasi sekitar Rp 1 juta per bulan, Network
Administrator sekitar Rp 1 juta per bulan, dua orang teknisi lapangan
sekitar Rp 1,5 juta per bulan, 1 orang Marketing sekitar Rp 1 juta per
bulan, listrik, ATK, telepon, dan lain-lain sekitar Rp 1,5 juta per
bulan. Total operasional Rp 8 juta per bulan.
Maka total biaya produksi sebuah ISP di daerah adalah sekitar Rp 32
juta per bulan dengan kapasitas terpasang 128 kbps upstream dan 512 kbps
downstream.Proyeksi dari klien warnet, diasumsikan kapasitas 128/512
kbps bisa untuk 128 workstation, kualitas setara dial up (4 kbps). Dapat
dibagi ke 8 warnet masing-masing dengan akses 64 kbps/16 unit atau 16
warnet masing-masing 32 kbps/8 unit. Tarif bulanan ISP Rp 3 juta (32
kbps) dan RP 5 juta (64 kbps). Proyeksi pendapatan, 8 warnet x Rp 5 juta
= Rp 40 juta atau 16 warnet x Rp 3 juta = Rp 48 juta. Tingkat laba
kotor (gross, sebelum pajak dan pengembalian investasi) sekitar Rp 8-16
juta.Personal dan RT/RW NetPara ISP melakukan rasio
akses berdasar idle capacity antarpelanggan. Karakteristik personal
adalah on demand, tidak bersamaan dan tidak kontinu.
Sehingga bisa dilakukan sharing ratio, idle time/capacity bisa
digunakan klien lain.Idle capacity bisa mencapai 16-32/64-128 kbps.
Dialokasikan untuk 8-16 personal. Dilayani menggunakan kabel Ethernet di
sekitar lokasi BTS atau akses WLAN. Untuk short range menggunakan
antena kaleng homemade, sehingga menekan biaya CPE hingga 200 dollar
AS.Tarif flat akses personal Rp 300.000. Potensi pendapatan 8 x Rp
300.000 = Rp 2,4 juta atau 16 x Rp 300.000 = Rp 4,8 juta. Pelanggan
mendapat kualitas setara dial up 24 jam sehari 7 hari seminggu (24/7).
Profil pelanggan adalah yang terbiasa dial up di atas 30 jam per bulan
dan mampu membeli CPE.Potensi sejenis personal adalah SOHO (Small Office
Home Office). Karakteristik SOHO, peak pada jam kerja, sebaliknya
personal peak setelah jam kerja. Potensi rasio time sharing antara SOHO
dan personal memungkinkan tambahan pendapatan ISP.
ISP Pendidikan
Apabila penyelenggara ISP di daerah ini untuk kepentingan
pendidikan/sekolah/kampus, maka asumsi penyelenggara akses tidak
mengambil keuntungan, maka setiap sekolah akan menanggung iuran akses
internet sebesar Rp 24 juta untuk 16 sekolah atau sama dengan Rp 1,5
juta per bulan.Akses tersebut bisa dipergunakan untuk 16 sekolah
sekaligus. Dengan asumsi penggunaan akses yang tidak excessive, maka
tiap sekolah bisa menambah jumlah komputernya dari standar 8 unit PC
menjadi 10-12 komputer. Tentu ada pengorbanan kualitas, namun tidak
signifikan. Namun harus dilakukan pengaturan melalui proxy (cache
engine) dan traffic limiter (QoS) di sisi penyelenggara (Network
Operation Center) ISP pendidikan.
Untuk membantu biaya operasional dan maintenance, selain mendapatkan
subsidi dari anggaran oleh lembaga pendidikan, jaringan ini bisa
dikombinasikan dengan layanan komersial. Kapasitas yang ada juga
didistribusikan untuk melayani warnet/SOHO/RT/RW Net di sekitar
lokasi.Kenyataan sangat sulit melakukan perhitungan ekonomi yang
sustainable apabila suatu ISP beroperasi berbasis pasar dari dunia
pendidikan saja. Tak dapat dihindari apabila ISP pendidikan juga harus
punya orientasi komersial demi kelangsungan hidupnya sendiri. Hasil yang
diperoleh bisa digunakan sebagai modal pengembangan, karena ISP
pendidikan umumnya sulit mendapatkan komitmen investasi ulang.Dengan
mengurangi keuntungan kotor dan operasional maksimal Rp 32 juta per
bulan, diperlukan sekitar 50 persen komposisi alokasi kapasitas untuk
layanan komersial. Dengan rasio berorientasi kuantitas, dapat dipenuhi
standar harga yang dikehendaki pasar pendidikan sekitar Rp 1,5 juta.
Angka tersebut adalah maksimal, dalam arti tidak dapat lebih rendah
lagi dan jumlah maksimum institusi yang dilayani adalah 16-32 institusi
dengan penambahan BTS.Kendala ISP DaerahMasalah
utamanya regulasi. Skenario di atas, melanggar banyak aturan pemerintah.
Mulai ketentuan badan hukum penyelenggara jasa internet, legalitas
landing right karena mengambil langsung bandwidth internasional, hingga
masalah sertifikasi peralatan dan proses perizinan yang terpusat di
Jakarta serta etika dan aturan main dalam lingkungan industri internet
nasional sendiri.Bagi ISP mini, pendidikan, RT/RW Net dan warnet di
daerah menjalankan skenario ini. Mereka ujung tombak penetrasi dan
literasi internet nasional. Perlu langkah deregulasi agresif untuk
memutihkan praktik ini. Sangat penting karena internet adalah
akselerator pertumbuhan ekonomi dan diseminasi pengetahuan kepada
rakyat.